Kamis, 22 September 2011

STUDI KETENANGAN DARI 5 PERISTIWA SEDIH DOA ROSARIO



Peristiwa 1 : Yesus berdoa di taman Getsemani
Yesus tahu bahwa saat penderitaan-Nya telah tiba. Sebagai manusia Ia pun merasa gentar. Dalam situasi demikian Dia tidak panik lalu ribut mencari dukungan, melainkan berdoa dengan khusuk kepada Bapa. Mengapa? Supaya Ia memperoleh kekuatan dari Bapa-Nya. Bila Dia teriak-teriak mengabarkan kesana-kemari tentu malah akan membuat situasi kacau.
Peristiwa 2 : Yesus didera
Ketika didera Ia tidak melawan. Ia begitu tenang seakan pasrah dan membiarkan diriNya dilukai. Mengapa? Bila Ia melawan tentu para algojo akan mendera-Nya dengan lebih sadis dan itu lebih menyakitkan.
Peristiwa 3 : Yesus dimahkotai duri
Mengapa Dia diam saja ketika mahkota duri itu dipasang dikepala-Nya? Sebab bila Dia memberontak tentu duri-duri mahkota itu akan mengenai wajah, mata, atau dengan lebih keras algojo memaksa dan menekannya pada kepala Yesus. Itu akan lebih memperdalam luka di kepala-Nya.
Peristiwa 4 : Yesus memanggul salib ke Golgota
Mengapa Yesus seakan taat kepada para algojo dan tentara Romawi yang memaksa-Nya memanggul salib yang berat itu? Bila Dia menolak dan memberontak, tentu mereka akan dengan lebih kasar memaksa atau bahkan memukulkan dan menimpakan salib itu. Dan itu akan lebih meremukkan tulang-tulang-Nya.
Peristiwa 5 : Yesus wafat di salib
Mengapa Dia juga begitu tenang ketika di atas salib? Sebab bila Dia bergerak sedikit saja, tentu tangan dan kaki-Nya yang tertusuk paku akan terasa lebih sakit.

Dalam menghadapi sebuah situasi sulit yang menyakitkan dan rasanya membuat kita menderita, kita diminta untuk tetap tenang menghadapinya. Kita tidak boleh panik dan banyak ‘gerak’ (berpikir dan melakukan tindakan macam-macam yang malah akan merugikan diri sendiri) apalagi memberontak atau menolak. Hal itu akan lebih membuat luka dalam hati kita semakin dalam dan kita akan semakin terluka. Datanglah kepada Bapa dalam doa yang khusyuk untuk memperoleh kekuatan dalam menanggungnya dan TENANGLAH…!!!

JAS LAB BAYI



Yang Benar, Yang Baik, dan Yang Indah, menurut Fr. Timothy Radcliffe, OP dalam buku Sing A New Song adalah kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Dengan menemukan ketiga hal tersebut sebagai suatu kesatuan maka kita dapat mewujudkan Pendidikan Integral, yakni suatu pendidikan yang menyangkut seluruh pribadi manusia. Menurut beliau, dalam masyarakat kita ketiga hal ini sudah dipisahkan satu sama lain. Maka sering kali kebenaran hanya menjadi urusan ilmu atau teknologi; etika disurutkan ke dalam utilitarianisme, dan keindahan hanya dilihat sebagai suatu sensasi subyektif. Bagi kita, ketiganya dalah satu, dan dengan menemukan kesatuan mereka, kita juga membuat ketiganya menjadi utuh.
Tiga bulan tinggal di komunitas karya yang cukup besar,  beranggota 15 Suster dengan berbagai tingkat usia serta empat bidang karya yang cukup besar memberi pengalaman-pengalaman berharga bagi jalan panggilan saya sebagi calon Suster Dominikanes. Banyak pengalaman yang membanggakan, tetapi juga tidak sedikit pengalaman yang memprihatinkan. Dari semua pengalaman tersebut, saya mencoba untuk menemukan Yang Benar, Yang Baik, dan Yang Indah sebagai kesatuan. Saya tidak menghendaki perjalanan hidup saya selama tiga bulan menjadi sesuatu yang justru menyurutkan semangat hidup panggilan saya dengan hanya mendaftar sekian banyak hal yang saya anggap benar atau tidak benar. Saya tidak mau dikuasai oleh perasaan dan pikiran-pikiran yang sempit dan subyektif yang hanya menilai antara yang baik dan tidak baik. Saya juga tidak mau terkurung dan terbelenggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan akan masa depan yang membuat pengalaman orientasi menjadi tidak indah, atau memunculkan berbagai penghiburan sehingga menjadikan pengalaman orientasi menjadi sungguh terasa indah.
Ketika kita terlibat di dalam hidup bersama atau dalam tugas maupun pekerjaan, mungkin kita akan lebih kesulitan untuk menemukan ketiga hal tersebut karena sibuk dan dibebani oleh tanggungjawab. Berbeda ketika kita berada dalam posisi di luar atau sejenak menarik diri dari lingkungan kita itu atau masuk dalam keheningan. Saya mengatakan hal ini karena saya mengalami sendiri.      Salah satu peristiwa ketika saya masih berada di Komunitas Cimahi, saya mengalami sebuah peristiwa yang menyakitkan. Saya merasa kecewa dan tidak dimengerti oleh seorang Suster. Saya sangat marah. Selama saya tinggal di Cimahi dan selalu bertemu dengan Suster terebut, rasa sakit dan kecewa itu masih terasa dan rasanya malas sekali untuk berinteraksi dengan beliau. Sebuah perjuangan bila saya harus berdua dengan beliau, selalu membuat jengkel. Bila ingat peristiwanya, saya menghindar untuk tidak berbincang-bincang dengan Suster tersebut. Namun, setelah saya kembali ke Novisiat, tidak bersama dengan Suster itu lagi dan saya teringat peristiwa itu, saya menjadi menyesal mengapa saya harus kecewa dan marah terhadap sikap Suster itu. Dan pada kesempatan berikutnya, saya justru menemukan mutiara yang indah dari apa yang terasa menyakitkan waktu di Cimahi.
Oval: 26 Dengan mundur atau mengambil jarak dari pengalaman itu, ternyata saya mampu melihat secara lebih luas. Saya mampu melihat dengan lebih jeli dan teliti keadaan yang benar seperti apa waktu itu, dan bila saya dihadapkan pada posisi sebagai Suster itu saya seharusnya mengambil sikap bagaimana supaya membuahkan keadaan yang baik. Dan akhirnya, sungguh sesuatu yang indah, ketika saya menemukan bahwa kita bisa terluka oleh kata-kata yang benar ketika kata-kata itu tidak disampaikan secara baik. Kata-kata yang menyakitkan waktu itu sesungguhnya adalah sebuah petuah bijak yang membawa pada kebaikan. Akhirnya saya pun justru menjadi bersyukur oleh karena keberadaan Suster itu dan apa yang dikatakannya justru menjadi sebuah pegangan bagi perjalanan hidup saya. Saya tersenyum pada diri sendiri dengan berkata, “Gitu aja kok sakit hati, kecewa, dan marah?”
Mengundurkan diri dari lingkaran pribadi-pribadi yang mengisi pengalaman hidup kita sehari-hari bagai sebuah ancang-ancang seorang bayi yang sedang belajar berjalan. Untuk bisa berjalan, Ayah dan Ibunya melepaskan anaknya dalam jarak tertentu. Kemudian Ayah dan Ibunya berada di depan anaknya dalam jarak tersebut, bersiap untuk menyambut anaknya yang berusaha meraih mereka dengan mengayunkan langkah-langkah kecilnya yang masih tertatih dan goyah. Betapa gembira anak tersebut ketika akhirnya dapat meraih kedua orang tuanya. Meskipun harus dengan jatuh terjerembab atau tersungkur dengan lutut lecet dan berdarah, tetapi ia menjadikan itu sebagai sebuah kenikmatan. Ia melakukan itu bukan semata-mata karena merasa bahwa ia harus sampai pada kedua orangtuanya, namun karena ia senang berjalan. Ia sungguh ingin bisa berjalan sendiri, berlari dan bermain kesana-kemari dengan gembira menikmati hidupnya.
Kini, dalam masa pembinaan dan pendidikan selanjutnya setelah kembali dari Komunitas Cimahi, saya pun seperti bayi yang sedang mengambil ancang-ancang. Saya berada pada jarak tertentu dari kedua orang tua saya yaitu Komunitas Karya di mana saya hidup bersama mereka, belajar dari mereka dan memperoleh teladan dari mereka. Artinya, saya studi bersama mereka. Saat ini saya sedang berada dalam situasi dimana saya berpikir bagaimana saya harus berjalan menuju orangtua saya, apakah kaki kiri yang harus maju dulu atau kaki yang kanan dulu, lalu bagaimana supaya badan saya seimbang?
Fr.Timothy Radcliffe, OP mengatakan, yang paling utama untuk semua studi yang sejati adalah kerendahan hati yang mendalam, yakni kerendahan hati yang berani membuka diri kepada orang lain yang berbeda dengan dirinya. Kata membuka diri mengingatkan saya bahwa ketika kita berusaha untuk berjalan dengan seimbang, maka kita membuka dan merentangkan kedua tangan kita. Demikian juga dengan anak yang sedang belajar berjalan. Harapannya, ketika sampai kepada orang tuanya, ia bisa langsung memeluk orang tuanya yang juga telah bersiap menyambutnya dengan tangan terentang dan wajah yang penuh harapan.
Ketika saya berdoa dan membayangkan diri saya merentangkan tangan dan siap melangkah, tiba-tiba sesuatu memasuki lengan saya satu per satu sampai akhirnya terpakai. Ternyata itu adalah jas lab atau jas laboratorium, yaitu jas yang dipakai bila seseorang sedang praktikum di laboratorium. Dengan memakai jas lab, berarti kita siap untuk praktikum, siap melakukan sendiri, mencoba sendiri, mengalami dan menemukan sendiri. Selain itu, jas lab berguna untuk  melindungi praktikan dari bahaya-bahaya bahan kimia saat praktikum. Belajar dengan cara praktikum membuat seorang murid lebih mahir dan tidak hanya tahu tetapi juga mengerti dan memahami suatu teori. Dengan demikian, saya merasa Tuhan menghendaki saya, bayi yang sedang belajar berjalan untuk kembali berjalan menuju orangtua saya dengan memakai jas lab, saya akan berjalan menuju Komunitas Karya untuk praktikum, menemukan yang benar, yang baik, dan yang indah sebagai kesatuan. Saya berjalan bukan karena saya harus menuju ke sana, tapi karena saya senang berjalan memakai jas lab. Artinya, saya senang berjalan bersama Tuhan yang setia menyertai perjalanan hidup saya dan Ia akan melindungi saya selama saya praktikum di Komunitas Karya, selama saya berusaha menyetiai jalan panggilan hidup yang telah saya pilih ini. “Sebab kasihNya hebat atas kita, dan kesetiaan Tuhan untuk selama-lamanya. KesetiaanNya adalah perisai dan pagar tembok.” (Mzm 117:2.91:4)

Tuhan, Koki Hidupku




Seorang sahabat menulis sebuah pesan untuk saya,
Masih bingung akan kebijaksanaan?
Pergilah memasak,
setelah itu silahkan berefleksi
apa tujuan kita berbuat demikian?

Melihat perjalanan hidup selama satu tahun, saya menemukan betapa Tuhan begitu sabar dan setia serta kreatif dalam membentuk hidup saya. Sebagaimana orang yang memasak, Ia memotong-motong, mengiris-iris, melumatkan saya, memanaskan saya dia atas wajan perapian, mengaduk-aduk hidup saya, membolak-baliknya demi menjadikan hidup saya berguna bagi orang lain, menjadi sebuah sajian yang menarik, enak, sehat, dan bergizi.

Ketika dalam proses dimasak, saya merasa sakit dan rasanya putus asa ingin mundur dan pulang saja ke keluarga saya, namun ternyata justru sekarang, setelah saya mampu bertahan dan melewati itu semua, saya tahu sebenarnya proses itu adalah proses pematangan hidup saya. Saya berada dalam genggaman tangan kasih-Nya.

Maka, memasuki tahun yang baru, saya semakin siap untuk dimasak terus oleh Yesus supaya menjadi matang. Sebab sebagaimana bahan masakan bila tidak dimasak justru akan busuk dan tidak berguna. Sebaliknya bila diolah dan dimasak dengan penuh kasih, kreatifitas, kesetiaan, dan kesabaran akan menjadi sebuah sajian yang indah dan nikmat bagi semua orang.



Tanpa Judul


Teruntuk hati
yang telah menjejakkan
banyak sketsa penting tentang kehidupan…

Sebenarnya hanya akan membatasi ruang pengungkapan perasaan dalam hatiku yang berkobar padamu sebab dengan lancang aku telah mengambil keputusan untuk menuliskan hamparan rasa tak terbatas ini.
Adalah hal yang lazim bahwa setiap perkenalan diawali oleh sebuah momen perjumpaan. Namun dalam kenyataan kita, ada hal luar biasa terjadi. Pertama-tama perjumpaan yang kita alami bukan perjumpaan antara raga melainkan oleh jiwa dengan esensinya hati.
Bisa dikatakan bahwa hati kita curang karena melakukan perjumpaan tanpa pernah bersepakat dengan sang raga. Kita yang oleh raga dianggap baru saja bersua namun oleh jiwa telah dialami dengan kurun waktu yang tak terdefinisikan.
Buktinya kita bisa berbagi dan saling meneguhkan…..

Rompesan Lebaran


Lebih dari satu tahun Sr. Benedicta, OP memelihara kelinci di kebun samping biara. Kelinci-kelinci tersebut diberi makan sisa-sisa sayuran dari pasar yang disebut rompesan. Rompesan diperoleh dari pasar. Awalnya, tidak mudah memperoleh rompesan sebab sudah ada orang yang memesan. Biasanya rompesan diperoleh dengan membeli seharga Rp.2.000-Rp.5000. Selama ini, yang mencari rompesan adalah Sr. Dominika, OP, maka lama-lama Sr. Dominika, OP mengenal Mbak Martini seorang penjual sayur di pasar yang baik hati. Mbak Martini memberikan rompesan dengan gratis. Bahkan dia sangat senang bila Sr. Dominika, OP mengambil rompesan sebab biasanya rompesan itu dibuang oleh petugas kebersihan pasar dan dia harus membayar. Karena Mbak Martini ini sungguh baik, maka biasanya dia akan menghubungi Sr. Dominika, OP dengan mengirim sms atau menelpon untuk memberitahukan bahwa ada rompesan yang bisa diambil. Apabila Sr. Dominika, OP ada di biara, maka beliau akan segera mengambilnya, namun bila sedang berada di Jogja, beliau meminta tolong Mbak Rum, tetangga depan biara yang memiliki warung. Mba Rum hampir setiap hari belanja di pasar, jadi sekalian membawakan rompesan untuk kelinci Sr. Benedicta, OP. Bila tidak ada rompesan, Sr. Benedicta, OP kadang membeli kangkung di warung.
Kemarin, tanggal 30 Agustus 2011 Mbak Martini mengirim sms kepada Sr. Dominika untuk mengambil rompesan pagi-pagi karena hari lebaran Mbak Martini tidak berjualan sampai siang. Hari ini, ketika Sr. Dominika, OP, Sr. Febriana, OP, Sr. Christiana, OP, Mbak Reni (adik Sr. Christiana) dan saya berkunjung ke tetangga-tetangga untuk mengucapkan Selamat Idul Fitri, Mbak Martini menelpon Sr. Dominika, OP memberitahu bahwa ada rompesan yang bisa diambil. Sekalian mengantar Sr. Christiana, OP dan Mbak Reni ke terminal, Sr. Dominika, OP mengajak saya untuk mengambil rompesan sekalian memberitahu saya tempat Mbak Martini berjualan, supaya bilamana Sr. Dominika, OP berada di Jogja, maka saya bisa menggantikan untuk mengambil rompesan.
Inilah kali pertama saya ke pasar Wonosari untuk mengambil rompesan dan pas hari Lebaran. Begitu sampai di tempat Mbak Martini, kami menjumpai Mbak Martini dan suaminya sedang tidur lelap di antara barang-barang jualannya. Sepertinya Mbak Martini dan suaminya sangat kelelahan. Mbak Martini dalam keadaaan hamil 8 bulan. Mereka berada di pasar sejak dini hari sebab biasanya kiriman sayur-sayuran datangnya pada jam-jam itu dan sore hari. sejenak kami perhatikan mereka, tapi kemudian Mbak Martini terbangun. Sr. Dominika telah menyiapkan bingkisan kecil untuk puteranya yang sekolah di SD kelas 1, sedangkan puteranya yang pertama sudah lulus SMK. Setelah mengucapkan Selamat Lebaran dan minta maaf lahir dan bathin, Mbak Martini langsung menunjukkan rompesan yang boleh kami bawa. Oh My God….., ini sih bukan rompesan….tapi kulakan (belanja dalam jumlah besar) sawi hijau!!!
Ternyata, imbas dari hari Lebaran membuat banyak sawi hijau di kios sayur Mbak Martini tidak laku dan menjadi layu dan kuning dalam jumlah yang sangat banyak. Sawi Hijau yang sangat banyak itu diminta untuk kami bawa semua. Mbak Martini berkisah bahwa tadinya akan dibawa oleh petugas kebersihan dengan membayar petugas itu, namun ingat Sr. Dominika, OP, maka tidak jadi dibuang. Waaah, sayang…..sungguh-sungguh sayang…, tapi mau bagaimana lagi karena pembeli pasti sudah tidak mau. Kami pun akhirnya berunding bagaimana cara membawanya. Mbak Martini menawarkan keranjang dan karung sayuran dan menyarankan untuk menyewa becak saja. Tapi dengan berbagai cara dan seluruh tenaga, akhirnya Sr. Dominika, OP dan saya berhasil mengangkut semua sawi sampai ke tempat parkir. Dibantu petugas parkir, sawi-sawi itu diikat di motor kami masing-masing dan akhirnya bisa sampai di biara dengan selamat dan membuat heran Sr. Febriana, OP dan Mbak Jilah (karyawan biara). Barangkali oramg-orang yang melihat kami di sepanjang jalan mengira kami baru saja kulakan sawi hijau. Tapi, kalau sawinya sebanyak itu dan pas hari Lebaran, kira-kira buat masak apa ya…? Mungkin mereka pikir kami berjualan mie ayam atau bakso yang laris pada saat Lebaran.
Yaaah…, ternyata Lebaran tak hanya berlimpah rahmat pengampunan, tetapi juga berlimpah rompesan. Ya, rompesan Lebaran yang berlimpah ruah untuk kelinci-kelinci Sr. Benedicta, OP yang kini berjumlah 7 ekor. Jadi, bukan hanya umat Muslim yang merayakan Lebaran dengan berlimpah makanan, tapi kelinci-kelinci Sr. Benedicta, OP pun merayakan Lebaran dengan berlimpah rompesan, makanan kesukaan mereka.  

O CAHAYA



O cahaya Gereja,
Pengajar kebenaran
Mawar kesabaran,
Gading kemurnian,
Air kebijaksanaan
Kau berikan dengan rela
Pengkhotbah rahmat,
Hubungkanlah kami
dengan para suci.


 





Cahaya Gereja

Orang kudus pada umumnya diberi tambahan nama yang dengan singkat menyatakan apa yang khususnya diperbuat olehnya dalam hidupnya. Ada yang disebut pelindung orang-orang miskin, pelindung para mahasiswa, pelindung orang yang dalam perjalanan, pelindung misi dan sebagainya. Ada yang mendapat nama: sahabat para yatim piatu dan sebagainya.
Dalam madah “O Cahaya”, St. Dominikus dihormati sebagai Cahaya Gereja. “O Cahaya” adalah suatu madah yang setiap hari dilagukan oleh para pengikutnya untuk menghormatinya. Constantin de Medici, seorang Dominikan dari sekitar tahun 1254 dan pengarang madah “O Cahaya” (O Lumen), yang pertama-tama menghubungkan Dominikus dengan Cahaya, terang yang misterius dan tak terjamah.
Kata “Terang” sering dipergunakan oleh Yesus sendiri. Ia mempergunakan kata itu juga ketika Ia menggambarkan kejadian pada Hari Terakhir. Dalam surat rasul Yohanes Allah sendiri digambarkan sebagai “Terang” yang datang ke dunia untuk menerangi manusia. “Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan” (1 Yoh 1:5). Yesus menyebut para rasulnya terang dunia. Terang dan gelap selalu mengelilingi Yesus yang adalah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan.
Ada orang yang riang. Bila ia memasuki suatu ruangan, tiba-tiba suasana tempat itu berubah: lebih gembira, lebih terang. Pengarang-pengarang riwayat hidup Dominikus dan mereka yang memberi kesaksian pada proses kanonisasi Dominikus mengatakan bahwa Dominikus mempunyai sifat riang gembira, seolah-olah ia berjalan dalam terang. Wajahnya berseri; ia ramah terhadap setiap orang. Sebelum kelahirannya ibunya bermimpi bahwa ia melihat seluruh dunia diterangi oleh obor yang dibawa oleh seekor anjing dalam moncongnya. Dan mimpi itu dihubungkan olehnya dengan anak yang dikandungnya. Menurut cerita lain, ibu permandiannya melihat bintang pada dahi Dominikus ketika bayi itu dibaptis. Suatu tanda? Mungkin. Tetapi anjing dan bintang itu kemudian menjadi lambang-lambang St. Dominikus.
Fungsi terang adalah mengungkapkan apa yang tersembunyi dalam kegelapan. Terang Dominikus tidak dipancarkan oleh buku-bukunya, karena ia tidak pernah menulis buku, tetapi dipancarkan oleh seluruh hidupnya. Cahaya dalah untuk dibagikan, bukan untuk disembuntikan di bawah gantang. Kerinduan Dominikus ialah juga membagikan cahayanya. Kita tahu cerita tentang pertemuan Dominikus dengan pemilik losmen di Toulouse. Lupa akan keletihannya, Dominikus berbicara dengannya semalam suntuk tentang Allah, ciptaan-Nya dan manusia. Pagi hari dengan menyingsingnya fajar, terang rahmat menembus hati pemilik losmen itu. Setiap kali Dominikus berbicara tentang bahan yang amat dicintainya, yaitu Allah, maka cahaya rahmat menerangi hati manusia dengan siapa ia berbicara sehingga ia melihat hidupnya dalam terang Allah. Kehangatan yang dipancarkan Dominius adalah sebagai plat kristal yangbila sebentar saja ditempatkan di cahaya, lama masih ia menahan terangnya.
Bila seseorang disebut bintang, ini berarti bahwa ia seorang dengan kemampuan yang luar biasa, seorang yang cemerlang. Adalah suatu pujian besar baginya, tetapi di samping itu ada juga sisi gelapnya. Mungkin inilah salah satu sebabnya mengapa Dominikus tidak pernah menjadi santo yang popular; ia terlalu dihubungkan dengan terang yang misterius, yang luar biasa dan tak terjangkau.
St. Dominikus adalah putera Gereja yang setia, seorang yang dibaptis dalam misteri iman. Ia adalh imam Tuhan, seorang teman dan penasehat yang dipercayai oleh para uskup. Ia rasul sejati. Nama Cahaya Gereja patut diberikan kepadanya.


Doa:

St. Dominikus, bapa kami, Cahaya Gereja, terangilah hati kami dan tolonglah kami meneruskan terang itu kepada orang lain; masing-masing dengan caranya sendiri. Jadikanlah kami ramah terhadap setiap orang yang kami jumpai. Biarlah kami mengambil bagian dalam kegembiraanmu yang berseri. Karena Kristus, Tuhan kami. Amin.


Pengajar Kebenaran

Keinginan manusia akan kebenaran adalah sebagai rasa lapar dan haus. Dalam sejarah banyak orang telah memberikan hidupnya untuk kebenaran. Dalam pengadilan Pilatus, Yesus berkata: “Aku datang ke dalam dunia ini supaya aku memberi kesaksian tentang kebenaran”. Pilatus menjauhkan diri dari Yesus dengan berkata: “Apakah kebenaran itu?”. Ia bukanlah orang yang pertama atau yang terakhir yang bersikap seperti itu di hadapan Kebenaran sendiri. Tidak sedikit orang berpendapat bahwa kebenaran tidak terjangkau lagi atau tidak dapat diperjuangkan lagi.
Sebagai anak muda Dominikus sudah haus akan kebenaran. Ia mencarinya pada dosen-dosen di Universitas di Palencia. Dengan “Veritas” sebagai lambang Ordonya, Dominikus mengabdi kepada Gereja. Belum juga Ordo berdiri, Dominikus sudah mengutus para pengikutnya berdua-dua ke Eropa, ke pusat-pusat intelek. Hala ini menimbulkan berbagai macam kritik, tetapi Dominikus menjawab: “Bila gandum disimpan di lumbung saja, ia akan menjadi busuk; taburkanlah di lading, maka kamu akan menuai”. Memang benar: kebenaran adalah untuk ditaburkan, untuk dituai dan untuk dipakai.
Kebenaran selalu baru, selalu dapat ditemukan. Ia adalah sarana kita untuk selalu berhubungan dengan realitas dan terutama dengan realitas yang sebagai manusia berkata: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup”. Kebenaran itu hidup dan apostolis.
Di sekeliling kita, dimana-mana, ada kegelapan. Tetapi dalam Dominikus, Pengajar kebenaran, kita mempunyai penunjuk jalan yang jitu. Ia memberi terangnya kepada Gereja dan menyalurkannya kepada kita. Dengan kerinduan dan kesediaan untuk mengetahui kehendak Allah, bersama dia, kita menuju ke tujuan hidup kita. Sebagai Ordo tua dalam Gereja kita akan selalu membaharui diri. Dengan mengatur hidup kita sesuai dengan iman kita, kita memberi kesaksian tentang Ordo kebenaran.

Doa:

Bapa suci, St. Dominikus, ajarlah kebenaran kepada kami. Bawalah kami kepada iman yang dalam sehingga tanpa liku-liku kami memancarkan keyakinan kami, iman kami pada Yesus Kristus Penebus kami. Engkau yang telah menguatkan saudara-saudara se-Ordo yang bimbang, tolonglah kami, ya Bapa, dengan doa-doamu. Amin.

 
Mawar Kesabaran

Baik hidup, maupun Kitab Suci, mengajar kita bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya. (Pengkotbah 3:1-8). Segala sesuatu mempunyai masanya. Begitu juga dengan Kristus dan waktu-Nya. Demikian pula dengan kita. Kita tidak dapat mempercepat waktu kita, tetapi dapat belajar menunggu. Dan perlahan-lahan kita mulai melihat peranan waktu dalam rencana Allah. Untuk tiap-tiap kegiatan ada waktu yang cocok.
Di hadapan mata umum Dominikus sebagai imam dan sebagai makhluk social adalah orang untuk setiap waktu dan setiap masa. Pada nama Dominikus ditambahkan sebutan MAwar KEsabaran. Ia adalah contoh dan model kesabaran yangbaik bagi kita. Nama ini menunjukkan dua aspek dari sifat-sifatnya: yaitu keindahan dan ketabahan. De facto kesabaran adalah sebagian adri ketabahan. Kesabaran membantu kita untuk mengalami kejahatan tanpa berkecil hati. Kesabaran menolong kita untuk menderita kesusahan, apapun sebabnya.
Hidup kita di dunia ini adalah suatu perjuangan, suatu perjalanan yang disertai dengan dukacita yang disebabkan oleh penyakit, kekecewaan atau kegagalan. Pada saat-saat seperti itu perlu kita belajar bagaimana orang dapat hidup dengan penderitaan dan bergaul dengan orang lain dengan damai. Kesabaran yang sejati tidak membuat orang duduk diam tanpa usaha. Sebaliknya, akan berbuat sedapat-dapatnya untuk menghilangkan penyebab penderitaan itu. Ini adalah bijaksana dan baik.
Maria juga penuh kesabaran. Banyak yang harus dideritanya: selama ia mengandung, ketika orang tidak mengerti Puteranya dan akhirnya penyaliban puteranya, Yesus. Dominikus menderita karena kekecewaan-kekecewaan yang besar. Sebagai teman Diego ia melihat bagaimana ajaran bidaah kaum Albigens bertumbuh subur. Ia adalah teladan kesabaran: bertahun-tahun ia berkotbah walaupun menghadapi kegagalan-kegagalan dan ancaman-ancaman nyawanya. Rencana rasulinya sendiri ditinggalkan olehnya dan dengan sabar ia mewartakan terus. Kesabarannya diganjar dengan panenan jiwa-jiwa yang banyak dan dengan Ordo yang mengabdikan diri kepada Gereja 800 tahun lamanya. Pelukis Fra Angelico telah membuat suatu lukisan indah dari St. Dominikus di bawah salib sambil menengadah ke Kristus.

Doa:

Bapa suci, St. Dominikus, kami mohon kepadamu, tolonglah kami untuk mengarahkan pandangan kami kepada Kristus, Sang Penebus yang bersengsara. Terutama bila kami dihadapkan dengan penderitaan, kesedihan dan frustrasi. Bantulah kami yang mengikuti dikau dalam pertobatan, menerima semua itu sebagai silih atas dosa-dosa kami serta seluruh umat manusia dan demi cinta kepada Tuhan. Amin.

Gading Kemurnian

Dahulu gading itu amat berharga dan tidak mudah didapat. Sekarang jarang orang bicara tentang gading karena telah diganti oleh bahan-bahan logam dankayu. Logam bisa berkarat dan kayu bisa menjadi lapuk. Tetapi gading, makinlama dipakai makin menjadi bagus. Gading mempunyai sifat: tak berubah, sulit dihancurkan, tetap keras dan kuat. Sifat-sifat ini mampu menghadapi kenyataan yang keras, tanpa kecil hati atau menghindar. Maka gading dijadikan lambang dari solidaritas dan kesetiaan.
Ketika orang akan menulis riwayat hidup Dominikus, orang terkesan oleh kenyataan bahwa Dominikus suka berada di tengah-tengah kaum wanita, lebih-lebih yang muda-muda, tanpa berbuat dosa. Hidupnya benar dan mulia. Kesan ini dicetuskan dengan menyebut dia Gading Kemurnian. Hubungan antara gading dan kemurnian cukup jelas.
Kemurnian tidak berarti mengundurkan diri dari orang-orang tidak mempunyai cinta kepada dan mendapat kasih dari orang lain. Kemurnian adalah cinta yang mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan dan kepada umat manusia; suatu persembahan diri yang total. Jalan kemurnian yang kitapilih dengan bebas, adalah jalan untuk melupakan diri kepada orang lain. Persembahan diri yang tak kenal cinta diri itu dengan tepat dilambangkan oleh gading. Kemurnian adalah suatu tanda yang misteri bagi dunia.
Pada Dominikus tidak tampak kekakuan atau kemurungan; ia tidak bersikap asam atau menyendiri. Dengan mudah ia bersahabat dengan orang lain, seperti dengan uskup Diego, cardinal Ugolino, dengan orang-orang yang berbakat yang kemudian tertarik pada Ordonya, dengan suster-suster dari Prouile dan San Sisto dan dengan banyak awam. Maka kita yangmengikrarkan kaul kemurnian, hendaknya kita juga ramah, hangat dan simpatik terhadap orang lain seperti Dominikus.

Doa:

Bapa suci Dominikus, gading kemurnian, tolonglah kami mengikuti jejakmu: menjadi ramah, hangat dan terbuka terhadap setiap orang sesuai dengan kemampuan kami masing-masing. Bantulah kami, ya bapa, dengan doa-doamu. Amin.

 
Air Kebijaksanaan

Bintang yang bercahaya pada dahi Dominikus mengingatkan kita pada rasi bintang yang disebut Aquaria atau Pemberi air, yang tampil dalam musim hujan. Bila kita di tepi pantai melihat gelombang air naik turun, kita merasa rileks. Air murni adalah paling berharga. Dimana ada air banyak, di situ kebudayaan berjaya; di mana air kurang maka kota-kota dan kebudayaan terpaksa harus mengalami keterbatasannya.
Dominikus adalah pembagi air kebijaksanaan. Di mana orang menemukan kebijaksanaan? Dari mana datangnya? Kebijaksanaan adalah karunia Allah, lain dari pengetahuan yang kita peroleh dengan mempelajarinya, seperti matematika atau teologi. Domninikus tidak tahu banyak tentang pengetahuan-pengatahuan alam; siapa tahu banyak waktu itu? Walaupun demikian ia adalah seorang teolog yang cemerlang dan sekaligus orang yang peka dan penuh perhatian terhadap karya Roh Kudus.
Ketika Ordonya mulai berdiri, dengan segera dan tegas diikuti dorongan Roh Kudus dalam dirinya; pengikut-pengikutnya disebar ke mana-mana. Dalam perbuatan-perbuatannya ia mempunyai pandangan yang jelas, penilaiannya tepat dan dengan teliti diikuti dorongan Roh Kudus. Oleh karena itu ia melaksanakan rencana Allah dan mencapai tujuannya dengan cara yang tepat. Ia berani mengambil inisiatif dan membuat rencana dengan bijaksana. Memang, amat menyegarkan bila melihat orang kudus seperti St. Dominikus: orang dengan pandangan luas, bebas dari segala kepicikan. Yang menjadi cirri-cirinya ialah: ketegasan, kejelasan, mengena sasaran, dengan tenang menerima kenyataan untuk dikembangkan atau disesuaikan dengan bijaksana. Dominikus begitu tepat bila menyelesaikan persoalan-persoalan sehingga orang melihat padanya kebijaksanaan Ilahi yang memberi inspirasi kepadanya.
Tuhan tidak minta dari kita agar kita lebih besar daripada sesungguhnya. Hanya kita dapat membagikan kepada orang lain kebijaksanaan yang kita miliki, yang lainnya kita serahkan saja kepada Allah. Itulah yang diperbuat Dominikus juga.

Doa:

Bapa Dominikus, yang begitu bijaksana dalam hidupmu, berilah kepada kami air kebijaksanaan yang amat berharga itu, agar kami dapat melaksanakan pekerjaan kami dengan bijaksana demi kemuliaan Allah. Amin.

 
Pengkotbah Rahmat

Dominikus adalah seorang pengkotbah yang tak kenal lelah. Ia pergi kemana-mana. Semangat mewartakannya membawa dia juga kepada orang-orang asing. St. Paulus menulis: “AKu dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah”. (Roma 1:1). Dominikus adalah rasul yang dibentuk menurut model Paulus, seorang injili yang diutus juga untukmembawa injil kepada orang-orang berdosa. Seorang pengkotbah adalah “suara yang berseru-seru” dan memberitahu walaupun ia kadang-kadang merasa sebagai berada dipadang gurun yang tandus. Ia adalah co-operator Tuhan karena ia bekerja dengan Tuhan dan untuk Tuhan.
Ketika para rasul berada bersama Yesus, Filipus berkata kepada-Nya: “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepda kami”. Dengan sabar Yesus menjawab: “Filipus, ….. barang siapa telah melihat Aku, ia telahmelihat Bapa”, (Yoh 14:8-9). Yesus adalah gambaran sempurna dari Allah yang tak kelihatan. Ia adalah sakramen dan tanda dari pertemuan manusia dengan Allah, Tand Suci dari cinta kasih Allah yang tak terhingga dan belas kasihan yang menyelamatkan. Ia adalah Sabda Allah.
Dominikus bukanlah orang yang menulis. Kita tidak mempunyai apa=apa darikarya tulisannya kecuali beberapa surat. Tetapi para pengikutnya yang hidup bersama dia, menyatakan bahwa ia selalu berbicara tentang Tuhan atau dengan Tuhan. Ia amat terpesona oleh belas kasih Allah. Hati rasuli Dominikus penuh dengan sabar gembira tentang penebusan serta hidup kekal yang telah dimulai di dunia ini dengan ikut ambil bagian dalam hidup Allah sendiri. Dominikus adalah sungguh-sungguh Pengkotbah rahmat.
Kita pengikut-pengikut Dominikus harus bersenjata Injil untukmewartakan Kabar Gembira kepada semua orang. Tema yang diambil para pengkotbah dari dahulu sampai sekarang adalah: karya penebusan Yesus Kristus, Putera Allah.

Doa:

Bapa suci, St. Dominikus, dampingilah danbantulah kami memberi kesaksian melalui hidup kami, melalui perbuatan-perbuatan kami. Jadikanlah hidup kami suatu ungkapan darikehadiran Kristus dalam diri kami dan suatu tanda dari rahmat Allah yang tak kelihatan. Dengarlah doa kami, ya bapa. Amin.

 

DientupTawon (Disengat Lebah)



Rasa penasaran biasanya dapat diobati dengan adanya bukti-bukti. Dengan adanya rasa penasaran atau timbulnya keingintahuan yang besar membuat seseorang berusaha untukmencari tahu dan membuktikan sendiri. Demikian halnya yang saya lakukan. Ketika hari Minggu pertama saya di Wonosari, kami sekomunitas mengadakan kerja bakti membersihkan biara dan pekarangan sekitar biara. Setelah membersihkan ruang tamu, muncul rasa penasaran dalam hati saya dengan keberadaan Gua Maria di taman sebelah Kapel. Patung Bunda Maria yang berada Goa kecil itu menarik bagi saya, tapi saya penasaran mengapa Gua ini terlihat tidak dirawat dan banyak terdapat sarang lebah di sekitar mulut Gua.
Dengan menggunakan sapu saya mencoba membersihkan Gua, tapi tiba-tiba…………….aaaawww!!! Pergelangan tangan kiri saya terasa sangat sakit. Ternyata seekor lebah hitam menempel di sana. Saya menepisnya dan lebah itu pun terbang entah kemana. Tangan saya semakin terasa sakit. Saya mencoba mencari titik pusat sakit dimana lebah itu menyengat, tapi saya tidak bisa menemukan. Seluruh bagian pergelangan tangan saya terasa sakit. Cepat-cepat saya lari ke kamar untuk mengoleskan minyak pada bagian yang sakit. Setelah beberapa waktu terlihatlah bagian yang lebih merah dibandingkan bagian lain pada pergelangan tangan saya. Lama-lama menjadi bengkak dan tambah sakit sampai pegal rasanya. Aduuuh, begini tho rasanya dientup tawon? Saya berdoa dalam hati semoga tidak beracun.
Sekitar pukul 11.00 WIB Pak Iwan datang. Baru kenal, Pak Iwan langsung memberi komentar tentang saya bahwa saya memilki daya tahan tubuh yang lemah. “Mungkin karena tadi pagi dientup tawon!”, jawab saya. Menurut cerita Suster-Suster, Pak Iwan memang memiliki karunia khusus, maka mendengar jawaban saya, beliau langsung meminta saya duduk di sebelahnya dan melihat pergelangan tangan kiri saya yang bengkak. Pak Iwan meminta saya menutup mata dan menarik napas panjang dan mengeluarkan dari mulut secara perlahan. Tangan Pak Iwan mulai memijit titik dimana tawon itu menyengat. Waaaah, jangan ditanya bagaimana rasanya….., sakiiiiiiiittt. Tapi saya bertahan dengan mencoba mengingat penderitaan Yesus di Salib. “Akh…ini belum seberapa dibandingkan penderitaan Yesus”, kata hati saya untuk menghibur diri. Namun lama-kelamaan jantung saya terasa sakit. Sepertinya Pak Iwan mengerti, kemudain bertanya: “Dadanya sakit ga Suster?”. “Iya Pak, sesak rasanya”, jawab saya. Kemudian Pak Iwan berkata, “Coba sekarang buka mata perlahan-lahan. Saya memang menghentikan sementara nadi Suster dan menyerap bahaya racunnya dan berusaha supaya racunnya tidak hanya berkumpul di titik ini, tapi biar saja kemudian menyebar karena racun ini masih bisa ditolelir oleh tubuh kita dan supaya tangan Suster tidak bengkak.” Ketika saya membuka mata, awalnya saya bisa melihat dengan jelas tapi beberapa detik kemudian semua menjadi gelap, pusing sekali rasanya dan keluar keringat dingin. “Pak Iwan, saya mau pingsan niiiihhhh…., boleh ga saya berbaring sebentar? Pusing sekali dan gelap……!”. “ Iya, Suster memang begitu pengaruhnya. Berbaring dulu saja!” Say pun berbaring di kursi tempat saya duduk, tidak peduli kursinya keras dan ada bantal atau tidak, pokoknya yang penting bisa berbaring. Waaaaaah…., rasanya memang nyaris pingsan. Terdengar suara Pak Iwan menjelaskan, “Tawonnya memang beracun dan saya sudah coba mengurangi bisanya. Memang tidak begitu bahaya tapi mampu membuat tangan pegal dan sakit bahkan demam. Semoga nanti malam tidak demam.
Setelah merasa baiak, saya bangun dan duduk lagi. Waaaahhhh, dientup tawon kok sampai begini ya…? Malamnya tidak demam, tapi Senin malam akhirnya saya panas sampai hari Selasa saya tidak ke sekolah dan selama seminggu batuk, pilek. Saya kira ini bukan karena dientup tawon, tapi karena debu dan adaptasi iklim di Wonosari, namun memang tangan masih terasa sakit. Kini setelah 2 bulan berlalu bekas dientup tawon  itu masih. Ternyata rasa penasaran dapat membawa kita pada suatu rasa sakit.
Kisah ini saya tulis sebab beberapa waktu lalu saya mengalami rasa sakit, bukan di pergelangan tangan tapi dalam hati karena rasa penasaran oranglain terhadap saya yang menimbulkan sebuah sikap yang menyakitkan. Yup, hati-hati dengan rasa penasaran Anda!!! Hati-hati dalam mencari tahu dan mencari bukti, jangan sampai melukai….!!!!!

Selasa, 20 September 2011

Jawir Mencari Air

Sore itu mentari tak mau mengurangi teriknya. Angin yang berhembus seakan menggigit kulit, panas dan tidak mengenakan badan. Jawir, remaja yang tak lulus Sekolah Dasar itu berjalan menyusuri sungai yang tak berair. Dasar sungai itu bercelah-celah selebar telapak kakinya. Sebuah ember, gayung, dan saringan berada dalam genggaman tangannya. Dahinya berkerut dengan pandangan mata yang tajam seolah mencari sesuatu.
“Wiiiiirrr…, di sini Wiiirr!!! Lumayan…!!!”
Sebuah teriakan meregangkan dahinya dan menggerakkan kakinya menuju sumber teriakan itu. Wisno, teman sebayanya yang juga putus sekolah tengah sibuk mengaduk-aduk kubangan lumpur di tengah sungai yang kering itu.
“Lumayan Wiiirrr, ini bisa untuk membuat sebotol susu untuk adikmu!”, Wisno berusaha membesarkan hati sahabatnya yang terlihat kecewa dengan apa yang ditunjukkannya. Ya, sebuah kubangan air yang kotor dan bau, sisa air sungai yang sudang mengering. Telah dua bulan kampung tempat mereka tinggal dilanda kekeringan. Hari itu Jawir diminta ibunya mencari air untuk membuat susu untuk adiknya yang masih bayi.
“Tidak No, itu terlalu kotor, adikku bisa sakit.”, katanya lemas.
“Kita mau cari kemana lagi Wiiirrr…? Satu-satunya adalah air telaga itu, tapi apakah kamu mau dikeroyok warga sebelah yang sedang bertikai dengan warga kampung kita karena perebutan telaga yang airnya tinggal sepuluh centi itu?”, Wisno terlihat ikut bingung.
Jawir terdiam. Dia semakin terlihat sedih. Lirih dia berkata,
 “No…, ini tidak adil bagi adikku. Dulu aku bisa minum susu sesukaku, sekarang adikku….mandi saja terakhir seminggu yang lalu.”
“Kamu sendiri?”
“Terakhir ya…waktu bareng kamu itu….!”
“Haaah…., 3 minggu lalu?”
“Ya nggak laah, baru 18 hari…!”
“Pantasss…, kulitmu sudah seperti badak bercula tujuh, hahahaha…!”, Wisno mencoba membuat Jawir tertawa tetapi ia hanya tersenyum lalu berkata,
“No, aku harus mendapat air bersih untuk adikku dan menghentikan pertikaian warga di kampung kita.”
“Caranya?”
“Aku mau ke kota sebentar. Aku mau ke kantor pemerintah yang ngurus soal air untuk minta dikirim air bersih sekalian minta untuk adikku.”
“Kamu tahu tempatnya?”
“Nggak, tapi aku pasti akan menemukannya.”
“Bagus bila kamu yakin, tapi jangan lupa cepat pulang, ok?”
Setelah menitipkan barang bawaannya dan menyampaikan pesan untuk ibunya, Jawir pun pergi ke kota dengan menumpang truk pengangkut pasir. Sesampai di kota, Jawir sungguh merasa bersyukur, pasalnya truk yang ditumpanginya menurunkan dia di depan kantor Dinas Pengairan. Dengan semangat dia bergegas masuk kantor itu untuk meminta kiriman air bersih. Kebetulan satpam yang menjaga sedang tidak ada di pos, jadi dia langsung menuju kantor dan bertemu dengan resepsionis, katanya,
“Pak, tolong kirim air bersih ke kampung saya, sudah dua bulan kami kekeringan. Saya saja terakhir mandi 18 hari yang lalu. Tolong ya pak!!!”
Bapak resepsionis itu mundur lalu tersenyum dan berkata,
“Maaf Mas, Mas salah alamat. Mas seharusnya datang ke kantor PDAM di seberang jalan itu.”
Bapak itu menunjuk ke sebuah kantor di seberang jalan.
Jawir mengikuti arah telunjuk Bapak itu lalu tanpa bicara lagi langsung berlari menuju kantor yang ditunjuk dan bertemu dengan satpam yang menjaga.
“Pak, tolong kirim air bersih ke kampung saya, sudah dua bulan kami kekeringan! Warga kampung jadi bermusuhan karena memperebutkan telaga di daerah perbatasan kampung. Saya juga sudah 18 hari tidak mandi. Adik saya mau minum susu tidak ada air, Pak!”, Jawir memohon sambil memegang tangan satpam itu.
Satpam itu merasa iba dengan Jawir lalu menanyai alamat lengkap Jawir dan menjanjikan akan segera mengirim air bersih. Kemudian Satpam itu memberi Jawir sebotol air minum untuk dibawa pulang agar dapat membuatkan susu bagi adiknya. Jawir merasa senang lalu pulang dengan menumpang truk.
Sesampai di kampung, segera dibawanya sebotol air itu kepada ibunya untuk membuat susu. Wisno datang dan bertanya,
”Mana airnya?”
 “Besok akan dikirim”, jawab Jawir dengan mantap.
“Yang bener?”, Wisno tidak percaya.
 “Eh, nggak percaya. Niih…, tadi aku diberi sebotol air minum untuk adikku sebagai pemanasan gitu deeehh….!!!”, Jawir menunjukkan botol air yang diberikan satpam kantor PDAM.
 “Hebat kamu Wiiiirr…!!!”, Wisno merangkul sahabatnya dengan bangga.
Satu, dua, tiga hari  telah berlalu, minggu pun telah berganti, mobil PDAM tak kunjung datang. Akhirnya, dengan ember, gayung, dan saringan di tangan Jawir dan Wisno serta warga kampung itu bertahan dengan mencari dan terus mencari sumber air atau kubangan-kubangan air meski kotor dan bau demi bertahan hidup. Pertengkaran warga pun selalu terjadi setiap hari karena rebutan air. Entah sampai kapan kekeringan itu akan berlangsung.

(Inspirasi dari keadaan daerah Gunung Kidul yang sedang dilanda kekeringan)

Siapa Dia ?

Udara masih terasa menusuk tulang
Sang surya belum juga menampakkan diri
Dia berbisik”Bangunlah manisKu…,jelitaKu…, marilah!”
Siapa Dia, berani membangunkan aku?
Pekerjaan tiada habisnya, lelah rasanya
Langkah kaki dan gerak tangan tiada henti
Dia berbisisk ”Datanglah kepada-Ku…!!!”
  Siapa Dia berani mengganggu aku?
Mata sudah siap terkatup 
Badan tak kuasa ingin berbaring
Dia berbisik “ Ucapkanlah syukur senantiasa…!”
Siapa Dia berani menasehati aku?
Tapi…,
mengapa setiap aku mengikuti
apa yang dibisikkan-Nya hatiku terasa damai?
Ya…, Dia ternyata pembawa damai
Dengan mengikuti apa yang dikatakan-Nya
disitulah aku mengenal-Nya
bahwa Dia pembawa damai
Dia hendak menunjukkan padaku
betapa Dia sangat menyasihiku
Dia ingin aku merasakan damai
disaat pagi, siang atau pun malam
Saat bangun, bekerja atau pun tidur.
Dia selalu mengajakku menikmati cinta-Nya

Ga Kotor, Ga Belajar

“Ga kotor, ga belajar”. Tentu kita pernah mendengar kalimat tersebut  bukan? Ya, itu adalah kalimat dari sebuah iklan deterjen di televisi. Saya merasa bahwa iklan tersebut menarik untuk direnungkan. Sebuah metode belajar yang baik, yaitu dengan mengalami dan merasakan sendiri, bukan hanya menerima teori-teori atau mendengar dari orang lain.
Dalam Injil Yohanes 1:39 Yesus juga mengajarkan kepada kita bagaimana belajar mengenal-Nya. Yesus meminta murid-Nya untuk datang dan melihat sendiri dimana Dia tinggal dan bagaimana kehidupan-Nya. Jadi, mereka percaya bukan hanya dari mendengar kata orang, tetapi dengan merasakan sendiri. Demikian pun kita hendaknya dapat lebih mengenal-Nya secara pribadi dari pengalaman-pengalaman hidup yang kita alami. Bukankah pepatah mengatakan: pengalaman adalah guru yang terbaik? Tantangannya adalah: apakah kita mau untuk mengalami sendiri?
Pada zaman yang serba canggih ini, orang bisa mengerjakan segala sesuatu tanpa harus mengerjakannya sendiri atau lebih mengandalkan teknologi daripada menggunakan akal budi dan tenaganya sendiri. Kita tidak mau menanggung resiko. Kita tidak mau “kotor”. Padahal di situlah proses belajar yang sungguh berharga, yaitu dengan mengalami dan merasakan sendiri. Dengan mersakan sendiri dan mengalami langsung kita juga dapat memupuk kepekaan, rasa solidaritas dan bela rasa dalam diri kita.
Marilah kita kembali belajar dari pribadi Yesus Sang Guru Sejati kita, bagaimana Dia mau mengalami sendiri kehidupan sebagai manusia demi misi penyelamatan-Nya walaupun Dia adalah Tuhan (bdk. Flp 2:6-8). Dia datang, merasakan dan menjadi satu dengan kita dalam peziarahan hidup kita. Oleh karena itu, hendaknya kita belajar dengan merasakan dan mengalami sendiri. Kita belajar dari setiap pengalaman-pengalaman hidup kita yang senantiasa dilimpahi oleh rahmat kasih-Nya.

Relakanlah Hatimu ... !!!


 
Bukan hal mudah untuk melalui waktu tiga bulan di Novisiat sebagai postulan. Sungguh usaha adaptasi yang berbeda dibandingkan ketika saya tinggal di tempat kos. Ketika bosan atau ada masalah dengan orang lain, kita bisa pergi menghindar, tapi di biara tidak bisa. Setiap hari ya bertemunya dengan orang-orang itu lagi...itu lagi!!! Mau tidak mau perasaan sungguh diaduk-aduk.
Tak hanya adaptasi dengan orang-orangnya, tapi bagaimana beradaptasi dengan apa yang dimiliki tak kalah berat. Kebebasan, kesenangan, kemapanan, orang-orang yang dikasihi tak lagi bersamaku. Tak ada lagi handphone untuk telpon berjam-jam (klo lagi ada gratisan..., hehehe..), tak ada lagi ngerumpi sampai pagi, tak ada lagi pergi rame-rame dengan teman-teman, makan makanan yang disukai(klo kiriman sudah datang...), tak ada lagi pacar (udah diputusin), berkumpul dengan keluarga. Tapi inilah konsekuensi pilihan hidup membiara. Berat memang, tapi semua adalah tantangan untuk dapat menjadi seorang religius.
Membaca 1 Kor 3:16-17 mengingatkan saya bahwa kita adalah bait Allah yang kudus. Perjuangan hidup sebagai postulan ini sama halnya dengan sabda Yesus sendiri:” rombaklah Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (bdk.Yoh 2:19).
Jika kata-kata yang dimaksud Yesus adalah diri-Nya sendiri, maka Bait Allah yang saya maksud adalah diri saya sendiri. Di Novisiatlah pribadi dan hidup saya dirombak menjadi Bait Allah yang sungguh kudus, menjadi seorang religius. Sebab selama hidup di luar biara, kekudusan bait Allah telah tercemar oleh dosa-dosa karena kebebasan pergaulan.
Untuk dapat dirombak, Allah bersabda : ”Relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (bdk. Why 3:22). Hanya dengan merelakan hati segala tantangan yang dirasa berat menjadi terasa ringan. Merelakan hati berarti pasrah, tidak banyak mengeluh dan bersungut-sungut dengan situasi, keadaan, adat istiadat di biara yang sama sekali berbeda dengan kehidupan di kost atau di rumah. Awalnya kaget, tapi dinikmati saja apa yang dilihat, didengar, dilakukan sambil refleksi mencari makna mengapa mesti begini, begitu..., mengapa saya di biara harus ngepel, nyapu, masak, dsb. Saya yakini bahwa itulah proses yang Tuhan mau saya lalui supaya saya dapat terbentuk. Bisa dibilang saya harus “melunakkan diri” supaya dapat masuk dan larut dalam kehidupan biara.
        Saya merasa bahwa saya sekarang berada dalam dekapan Yesus, dekapan yang sangat erat. Ketika saya berontak untuk lepas, larut dalam bayang-bayang kebebasan dan kemapanan seperti yang saya nikmati waktu di luar, saya merasa lelah sendiri, langkah saya terasa berat. Hal itu berarti saya belum merelakan hati kepada Allah. Dan untuk dapat mendirikan Bait Allah yang kudus dibutuhkan sikap pertobatan yang total, yaitu perubahan sikap hidup yang radikal, meninggalkan sikap hidup yang lama dengan yang baru sebagai calon religius. Dengan merelakan hati dan bertobat itulah semoga saya akan tetap berada di Novisiat untuk meraih kembali kekudusan, menjadi seorang religius.