Kamis, 22 September 2011

JAS LAB BAYI



Yang Benar, Yang Baik, dan Yang Indah, menurut Fr. Timothy Radcliffe, OP dalam buku Sing A New Song adalah kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Dengan menemukan ketiga hal tersebut sebagai suatu kesatuan maka kita dapat mewujudkan Pendidikan Integral, yakni suatu pendidikan yang menyangkut seluruh pribadi manusia. Menurut beliau, dalam masyarakat kita ketiga hal ini sudah dipisahkan satu sama lain. Maka sering kali kebenaran hanya menjadi urusan ilmu atau teknologi; etika disurutkan ke dalam utilitarianisme, dan keindahan hanya dilihat sebagai suatu sensasi subyektif. Bagi kita, ketiganya dalah satu, dan dengan menemukan kesatuan mereka, kita juga membuat ketiganya menjadi utuh.
Tiga bulan tinggal di komunitas karya yang cukup besar,  beranggota 15 Suster dengan berbagai tingkat usia serta empat bidang karya yang cukup besar memberi pengalaman-pengalaman berharga bagi jalan panggilan saya sebagi calon Suster Dominikanes. Banyak pengalaman yang membanggakan, tetapi juga tidak sedikit pengalaman yang memprihatinkan. Dari semua pengalaman tersebut, saya mencoba untuk menemukan Yang Benar, Yang Baik, dan Yang Indah sebagai kesatuan. Saya tidak menghendaki perjalanan hidup saya selama tiga bulan menjadi sesuatu yang justru menyurutkan semangat hidup panggilan saya dengan hanya mendaftar sekian banyak hal yang saya anggap benar atau tidak benar. Saya tidak mau dikuasai oleh perasaan dan pikiran-pikiran yang sempit dan subyektif yang hanya menilai antara yang baik dan tidak baik. Saya juga tidak mau terkurung dan terbelenggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan akan masa depan yang membuat pengalaman orientasi menjadi tidak indah, atau memunculkan berbagai penghiburan sehingga menjadikan pengalaman orientasi menjadi sungguh terasa indah.
Ketika kita terlibat di dalam hidup bersama atau dalam tugas maupun pekerjaan, mungkin kita akan lebih kesulitan untuk menemukan ketiga hal tersebut karena sibuk dan dibebani oleh tanggungjawab. Berbeda ketika kita berada dalam posisi di luar atau sejenak menarik diri dari lingkungan kita itu atau masuk dalam keheningan. Saya mengatakan hal ini karena saya mengalami sendiri.      Salah satu peristiwa ketika saya masih berada di Komunitas Cimahi, saya mengalami sebuah peristiwa yang menyakitkan. Saya merasa kecewa dan tidak dimengerti oleh seorang Suster. Saya sangat marah. Selama saya tinggal di Cimahi dan selalu bertemu dengan Suster terebut, rasa sakit dan kecewa itu masih terasa dan rasanya malas sekali untuk berinteraksi dengan beliau. Sebuah perjuangan bila saya harus berdua dengan beliau, selalu membuat jengkel. Bila ingat peristiwanya, saya menghindar untuk tidak berbincang-bincang dengan Suster tersebut. Namun, setelah saya kembali ke Novisiat, tidak bersama dengan Suster itu lagi dan saya teringat peristiwa itu, saya menjadi menyesal mengapa saya harus kecewa dan marah terhadap sikap Suster itu. Dan pada kesempatan berikutnya, saya justru menemukan mutiara yang indah dari apa yang terasa menyakitkan waktu di Cimahi.
Oval: 26 Dengan mundur atau mengambil jarak dari pengalaman itu, ternyata saya mampu melihat secara lebih luas. Saya mampu melihat dengan lebih jeli dan teliti keadaan yang benar seperti apa waktu itu, dan bila saya dihadapkan pada posisi sebagai Suster itu saya seharusnya mengambil sikap bagaimana supaya membuahkan keadaan yang baik. Dan akhirnya, sungguh sesuatu yang indah, ketika saya menemukan bahwa kita bisa terluka oleh kata-kata yang benar ketika kata-kata itu tidak disampaikan secara baik. Kata-kata yang menyakitkan waktu itu sesungguhnya adalah sebuah petuah bijak yang membawa pada kebaikan. Akhirnya saya pun justru menjadi bersyukur oleh karena keberadaan Suster itu dan apa yang dikatakannya justru menjadi sebuah pegangan bagi perjalanan hidup saya. Saya tersenyum pada diri sendiri dengan berkata, “Gitu aja kok sakit hati, kecewa, dan marah?”
Mengundurkan diri dari lingkaran pribadi-pribadi yang mengisi pengalaman hidup kita sehari-hari bagai sebuah ancang-ancang seorang bayi yang sedang belajar berjalan. Untuk bisa berjalan, Ayah dan Ibunya melepaskan anaknya dalam jarak tertentu. Kemudian Ayah dan Ibunya berada di depan anaknya dalam jarak tersebut, bersiap untuk menyambut anaknya yang berusaha meraih mereka dengan mengayunkan langkah-langkah kecilnya yang masih tertatih dan goyah. Betapa gembira anak tersebut ketika akhirnya dapat meraih kedua orang tuanya. Meskipun harus dengan jatuh terjerembab atau tersungkur dengan lutut lecet dan berdarah, tetapi ia menjadikan itu sebagai sebuah kenikmatan. Ia melakukan itu bukan semata-mata karena merasa bahwa ia harus sampai pada kedua orangtuanya, namun karena ia senang berjalan. Ia sungguh ingin bisa berjalan sendiri, berlari dan bermain kesana-kemari dengan gembira menikmati hidupnya.
Kini, dalam masa pembinaan dan pendidikan selanjutnya setelah kembali dari Komunitas Cimahi, saya pun seperti bayi yang sedang mengambil ancang-ancang. Saya berada pada jarak tertentu dari kedua orang tua saya yaitu Komunitas Karya di mana saya hidup bersama mereka, belajar dari mereka dan memperoleh teladan dari mereka. Artinya, saya studi bersama mereka. Saat ini saya sedang berada dalam situasi dimana saya berpikir bagaimana saya harus berjalan menuju orangtua saya, apakah kaki kiri yang harus maju dulu atau kaki yang kanan dulu, lalu bagaimana supaya badan saya seimbang?
Fr.Timothy Radcliffe, OP mengatakan, yang paling utama untuk semua studi yang sejati adalah kerendahan hati yang mendalam, yakni kerendahan hati yang berani membuka diri kepada orang lain yang berbeda dengan dirinya. Kata membuka diri mengingatkan saya bahwa ketika kita berusaha untuk berjalan dengan seimbang, maka kita membuka dan merentangkan kedua tangan kita. Demikian juga dengan anak yang sedang belajar berjalan. Harapannya, ketika sampai kepada orang tuanya, ia bisa langsung memeluk orang tuanya yang juga telah bersiap menyambutnya dengan tangan terentang dan wajah yang penuh harapan.
Ketika saya berdoa dan membayangkan diri saya merentangkan tangan dan siap melangkah, tiba-tiba sesuatu memasuki lengan saya satu per satu sampai akhirnya terpakai. Ternyata itu adalah jas lab atau jas laboratorium, yaitu jas yang dipakai bila seseorang sedang praktikum di laboratorium. Dengan memakai jas lab, berarti kita siap untuk praktikum, siap melakukan sendiri, mencoba sendiri, mengalami dan menemukan sendiri. Selain itu, jas lab berguna untuk  melindungi praktikan dari bahaya-bahaya bahan kimia saat praktikum. Belajar dengan cara praktikum membuat seorang murid lebih mahir dan tidak hanya tahu tetapi juga mengerti dan memahami suatu teori. Dengan demikian, saya merasa Tuhan menghendaki saya, bayi yang sedang belajar berjalan untuk kembali berjalan menuju orangtua saya dengan memakai jas lab, saya akan berjalan menuju Komunitas Karya untuk praktikum, menemukan yang benar, yang baik, dan yang indah sebagai kesatuan. Saya berjalan bukan karena saya harus menuju ke sana, tapi karena saya senang berjalan memakai jas lab. Artinya, saya senang berjalan bersama Tuhan yang setia menyertai perjalanan hidup saya dan Ia akan melindungi saya selama saya praktikum di Komunitas Karya, selama saya berusaha menyetiai jalan panggilan hidup yang telah saya pilih ini. “Sebab kasihNya hebat atas kita, dan kesetiaan Tuhan untuk selama-lamanya. KesetiaanNya adalah perisai dan pagar tembok.” (Mzm 117:2.91:4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar