Bukan hal mudah untuk melalui waktu tiga bulan di Novisiat sebagai postulan. Sungguh usaha adaptasi yang berbeda dibandingkan ketika saya tinggal di tempat kos. Ketika bosan atau ada masalah dengan orang lain, kita bisa pergi menghindar, tapi di biara tidak bisa. Setiap hari ya bertemunya dengan orang-orang itu lagi...itu lagi!!! Mau tidak mau perasaan sungguh diaduk-aduk.
Tak hanya adaptasi dengan orang-orangnya, tapi bagaimana beradaptasi dengan apa yang dimiliki tak kalah berat. Kebebasan, kesenangan, kemapanan, orang-orang yang dikasihi tak lagi bersamaku. Tak ada lagi handphone untuk telpon berjam-jam (klo lagi ada gratisan..., hehehe..), tak ada lagi ngerumpi sampai pagi, tak ada lagi pergi rame-rame dengan teman-teman, makan makanan yang disukai(klo kiriman sudah datang...), tak ada lagi pacar (udah diputusin), berkumpul dengan keluarga. Tapi inilah konsekuensi pilihan hidup membiara. Berat memang, tapi semua adalah tantangan untuk dapat menjadi seorang religius.
Membaca 1 Kor 3:16-17 mengingatkan saya bahwa kita adalah bait Allah yang kudus. Perjuangan hidup sebagai postulan ini sama halnya dengan sabda Yesus sendiri:” rombaklah Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (bdk.Yoh 2:19).
Jika kata-kata yang dimaksud Yesus adalah diri-Nya sendiri, maka Bait Allah yang saya maksud adalah diri saya sendiri. Di Novisiatlah pribadi dan hidup saya dirombak menjadi Bait Allah yang sungguh kudus, menjadi seorang religius. Sebab selama hidup di luar biara, kekudusan bait Allah telah tercemar oleh dosa-dosa karena kebebasan pergaulan.
Untuk dapat dirombak, Allah bersabda : ”Relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (bdk. Why 3:22). Hanya dengan merelakan hati segala tantangan yang dirasa berat menjadi terasa ringan. Merelakan hati berarti pasrah, tidak banyak mengeluh dan bersungut-sungut dengan situasi, keadaan, adat istiadat di biara yang sama sekali berbeda dengan kehidupan di kost atau di rumah. Awalnya kaget, tapi dinikmati saja apa yang dilihat, didengar, dilakukan sambil refleksi mencari makna mengapa mesti begini, begitu..., mengapa saya di biara harus ngepel, nyapu, masak, dsb. Saya yakini bahwa itulah proses yang Tuhan mau saya lalui supaya saya dapat terbentuk. Bisa dibilang saya harus “melunakkan diri” supaya dapat masuk dan larut dalam kehidupan biara.
Saya merasa bahwa saya sekarang berada dalam dekapan Yesus, dekapan yang sangat erat. Ketika saya berontak untuk lepas, larut dalam bayang-bayang kebebasan dan kemapanan seperti yang saya nikmati waktu di luar, saya merasa lelah sendiri, langkah saya terasa berat. Hal itu berarti saya belum merelakan hati kepada Allah. Dan untuk dapat mendirikan Bait Allah yang kudus dibutuhkan sikap pertobatan yang total, yaitu perubahan sikap hidup yang radikal, meninggalkan sikap hidup yang lama dengan yang baru sebagai calon religius. Dengan merelakan hati dan bertobat itulah semoga saya akan tetap berada di Novisiat untuk meraih kembali kekudusan, menjadi seorang religius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar