Sore itu mentari tak mau mengurangi teriknya. Angin yang berhembus seakan menggigit kulit, panas dan tidak mengenakan badan. Jawir, remaja yang tak lulus Sekolah Dasar itu berjalan menyusuri sungai yang tak berair. Dasar sungai itu bercelah-celah selebar telapak kakinya. Sebuah ember, gayung, dan saringan berada dalam genggaman tangannya. Dahinya berkerut dengan pandangan mata yang tajam seolah mencari sesuatu.
“Wiiiiirrr…, di sini Wiiirr!!! Lumayan…!!!”
Sebuah teriakan meregangkan dahinya dan menggerakkan kakinya menuju sumber teriakan itu. Wisno, teman sebayanya yang juga putus sekolah tengah sibuk mengaduk-aduk kubangan lumpur di tengah sungai yang kering itu.
“Lumayan Wiiirrr, ini bisa untuk membuat sebotol susu untuk adikmu!”, Wisno berusaha membesarkan hati sahabatnya yang terlihat kecewa dengan apa yang ditunjukkannya. Ya, sebuah kubangan air yang kotor dan bau, sisa air sungai yang sudang mengering. Telah dua bulan kampung tempat mereka tinggal dilanda kekeringan. Hari itu Jawir diminta ibunya mencari air untuk membuat susu untuk adiknya yang masih bayi.
“Tidak No, itu terlalu kotor, adikku bisa sakit.”, katanya lemas.
“Kita mau cari kemana lagi Wiiirrr…? Satu-satunya adalah air telaga itu, tapi apakah kamu mau dikeroyok warga sebelah yang sedang bertikai dengan warga kampung kita karena perebutan telaga yang airnya tinggal sepuluh centi itu?”, Wisno terlihat ikut bingung.
Jawir terdiam. Dia semakin terlihat sedih. Lirih dia berkata,
“No…, ini tidak adil bagi adikku. Dulu aku bisa minum susu sesukaku, sekarang adikku….mandi saja terakhir seminggu yang lalu.”
“Kamu sendiri?”
“Terakhir ya…waktu bareng kamu itu….!”
“Haaah…., 3 minggu lalu?”
“Ya nggak laah, baru 18 hari…!”
“Pantasss…, kulitmu sudah seperti badak bercula tujuh, hahahaha…!”, Wisno mencoba membuat Jawir tertawa tetapi ia hanya tersenyum lalu berkata,
“No, aku harus mendapat air bersih untuk adikku dan menghentikan pertikaian warga di kampung kita.”
“Caranya?”
“Aku mau ke kota sebentar. Aku mau ke kantor pemerintah yang ngurus soal air untuk minta dikirim air bersih sekalian minta untuk adikku.”
“Kamu tahu tempatnya?”
“Nggak, tapi aku pasti akan menemukannya.”
“Bagus bila kamu yakin, tapi jangan lupa cepat pulang, ok?”
Setelah menitipkan barang bawaannya dan menyampaikan pesan untuk ibunya, Jawir pun pergi ke kota dengan menumpang truk pengangkut pasir. Sesampai di kota , Jawir sungguh merasa bersyukur, pasalnya truk yang ditumpanginya menurunkan dia di depan kantor Dinas Pengairan. Dengan semangat dia bergegas masuk kantor itu untuk meminta kiriman air bersih. Kebetulan satpam yang menjaga sedang tidak ada di pos, jadi dia langsung menuju kantor dan bertemu dengan resepsionis, katanya,
“Pak, tolong kirim air bersih ke kampung saya, sudah dua bulan kami kekeringan. Saya saja terakhir mandi 18 hari yang lalu. Tolong ya pak!!!”
Bapak resepsionis itu mundur lalu tersenyum dan berkata,
“Maaf Mas, Mas salah alamat. Mas seharusnya datang ke kantor PDAM di seberang jalan itu.”
Bapak itu menunjuk ke sebuah kantor di seberang jalan.
Jawir mengikuti arah telunjuk Bapak itu lalu tanpa bicara lagi langsung berlari menuju kantor yang ditunjuk dan bertemu dengan satpam yang menjaga.
“Pak, tolong kirim air bersih ke kampung saya, sudah dua bulan kami kekeringan! Warga kampung jadi bermusuhan karena memperebutkan telaga di daerah perbatasan kampung. Saya juga sudah 18 hari tidak mandi. Adik saya mau minum susu tidak ada air, Pak!”, Jawir memohon sambil memegang tangan satpam itu.
Satpam itu merasa iba dengan Jawir lalu menanyai alamat lengkap Jawir dan menjanjikan akan segera mengirim air bersih. Kemudian Satpam itu memberi Jawir sebotol air minum untuk dibawa pulang agar dapat membuatkan susu bagi adiknya. Jawir merasa senang lalu pulang dengan menumpang truk.
Sesampai di kampung, segera dibawanya sebotol air itu kepada ibunya untuk membuat susu. Wisno datang dan bertanya,
”Mana airnya?”
“Besok akan dikirim”, jawab Jawir dengan mantap.
“Yang bener?”, Wisno tidak percaya.
“Eh, nggak percaya. Niih…, tadi aku diberi sebotol air minum untuk adikku sebagai pemanasan gitu deeehh….!!!”, Jawir menunjukkan botol air yang diberikan satpam kantor PDAM.
“Hebat kamu Wiiiirr…!!!”, Wisno merangkul sahabatnya dengan bangga.
Satu, dua, tiga hari telah berlalu, minggu pun telah berganti, mobil PDAM tak kunjung datang. Akhirnya, dengan ember, gayung, dan saringan di tangan Jawir dan Wisno serta warga kampung itu bertahan dengan mencari dan terus mencari sumber air atau kubangan-kubangan air meski kotor dan bau demi bertahan hidup. Pertengkaran warga pun selalu terjadi setiap hari karena rebutan air. Entah sampai kapan kekeringan itu akan berlangsung.
(Inspirasi dari keadaan daerah Gunung Kidul yang sedang dilanda kekeringan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar